MEDIA DAN KONFLIK KEAGAMAAN

    Masyarakat sering kali menghadapi berbagai permasalahan seperti perbedaan etnis, perebutan tanah, hingga klaim kebenaran agama (truth claim), yang kerap menjadi latar belakang terjadinya konflik kekerasan. Salah satu contoh nyata yang mungkin masih kita ingat adalah kasus Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) pada Pilkada DKI Jakarta tahun 2017.

    Dalam salah satu pernyataannya yang menyinggung ayat Al-Qur’an, reaksi dari masyarakat—khususnya umat Islam—cukup besar. Mereka menyuarakan pendapat melalui media sosial dan menggelar aksi damai turun ke jalan, menuntut agar Ahok diproses secara hukum.

    Kasus tersebut memicu perhatian luas, tidak hanya dari masyarakat umum, tetapi juga dari kalangan kriminolog, sosiolog, hingga tokoh-tokoh agama. Mereka mencoba membangun analisis untuk menjawab pertanyaan besar: Mengapa di negara dengan mayoritas penduduk beragama, khususnya Muslim seperti Indonesia, konflik agama begitu mudah tersulut?

PENGERTIAN KONFLIK & KONFLIK KEAGAMAAN


Konflik: secara etimologi memiliki banyak arti bisaberarti bentrokan, cedera friksi, kelahi, konfrontasi, percekcokan, pergesekan, perpecahan, dan perselisihan (Endarmoko, 2000:333)

Konflik Keagamaan: Konflik keagamaan yaitu berbagai tindak kekerasan, bentrokan, dan lain sebagainya yang di picu oleh simbol-simbol keagamaan.

ISU-ISU KONFLIK KEAGAMAAN DI INDONESIA

  1. Isu Moral: Isu moral adalah konflik yang muncul karena adanya praktik yang dianggap menyimpang atau bertentangan dengan nilai-nilai agama dan norma sosial. Contohnya: perjudian, konsumsi minuman keras (miras), penyalahgunaan narkoba, prostitusi, dan tindakan amoral lainnya. Kelompok-kelompok agama biasanya menolak praktik tersebut karena dianggap merusak moral masyarakat dan bertentangan dengan ajaran agama. Hal ini seringkali memicu protes, aksi sosial, atau bahkan konflik jika tidak ditangani secara bijak oleh pemerintah dan masyarakat.
  2. Isu Sektarian (Sectarian): Isu sektarian adalah konflik yang terjadi dalam satu komunitas agama akibat perbedaan pandangan, tafsir, atau praktik keagamaan. Contohnya: perbedaan antara Sunni dan Syiah dalam Islam, atau antara aliran kepercayaan dalam satu agama tertentu. Perselisihan ini muncul karena masing-masing kelompok merasa pemahamannya paling benar (truth claim), dan terkadang menuding pihak lain sebagai sesat atau menyimpang. Jika tidak ada toleransi internal, konflik bisa semakin membesar bahkan memicu kekerasan.
  3. Isu Komunal: Isu komunal adalah konflik antara dua atau lebih komunitas agama yang berbeda. Contohnya: konflik antara kelompok Muslim dan Kristen yang pernah terjadi di beberapa daerah seperti Ambon, Poso, atau Kupang. Konflik ini seringkali dipicu oleh insiden kecil (seperti penistaan simbol agama, pembatasan pembangunan rumah ibadah, atau masalah sosial), lalu membesar karena sentimen agama dan identitas kelompok. Konflik komunal sangat berbahaya karena bisa berlangsung lama dan meninggalkan trauma sosial.
  4. Isu Terorisme: Isu ini berkaitan dengan tindakan kekerasan atau teror yang dilakukan oleh individu atau kelompok atas nama agama, yang menyasar kelompok keagamaan tertentu atau properti milik kelompok agama lain. Contohnya: pengeboman rumah ibadah, penyerangan terhadap umat saat beribadah, atau penyerangan terhadap tokoh agama. Aksi-aksi ini biasanya dilatarbelakangi oleh paham ekstremisme, radikalisme, dan ideologi keagamaan yang menyimpang, yang menganggap kekerasan sebagai cara membela atau menyebarkan keyakinan mereka.
  5. Isu Politik-Keagamaan: Isu ini muncul ketika agama digunakan sebagai alat atau alasan untuk menentang kebijakan politik, baik dalam negeri maupun luar negeri. Contohnya: aksi protes terhadap kebijakan luar negeri Amerika Serikat yang dianggap merugikan umat Muslim, atau penggunaan simbol-simbol agama dalam kampanye politik. Isu ini bisa memicu konflik jika digunakan untuk memecah belah masyarakat, memobilisasi massa berdasarkan sentimen keagamaan, atau menciptakan polarisasi antara “kami” dan “mereka”.
  6. Isu Lainnya – Subkultur Keagamaan Mistis: Ini mencakup kepercayaan dan praktik-praktik mistis yang berkembang di tengah masyarakat, seperti santet, tenung, atau ilmu hitam. Meskipun sering kali bersifat lokal dan tidak terkait langsung dengan agama resmi, isu ini bisa memicu konflik, terutama jika ada tuduhan antar warga atau kelompok yang dianggap melakukan praktik tersebut.

Perselisihan seputar hal-hal mistis bisa berkembang menjadi kekerasan fisik atau pengucilan sosial terhadap individu atau komunitas tertentu.

PERAN MEDIA DALAM KEHIDUPAN SOSIAL

  1. Media sebagai Interlocutor (Perantara Dialog Sosial): Media berperan sebagai jembatan komunikasi antara berbagai kelompok dalam masyarakat. Ia membantu menyuarakan opini publik, menyampaikan aspirasi, dan menjadi wadah diskusi tentang berbagai isu sosial. Media membuka ruang bagi masyarakat untuk saling berinteraksi, baik secara langsung maupun tidak langsung.
  2. Media sebagai Window on Event and Experience: Media berfungsi sebagai "jendela dunia", memungkinkan masyarakat melihat berbagai peristiwa dan pengalaman yang terjadi di luar lingkungan mereka. Lewat berita, dokumenter, dan laporan khusus, media membawa informasi dari seluruh dunia ke hadapan publik, memperluas wawasan dan pemahaman sosial.
  3. Media sebagai A Mirror of Event in Society and the World: Media mencerminkan berbagai kejadian dan kondisi yang terjadi di masyarakat dan dunia, seolah menjadi cermin kehidupan sosial. Dalam fungsi ini, media diharapkan menyajikan informasi secara jujur dan akurat, tanpa manipulasi, sehingga publik dapat melihat realitas yang sebenarnya.
  4. Media sebagai Filter atau Gatekeeper: Media bertindak sebagai penyaring informasi. Tidak semua peristiwa disampaikan kepada publik, karena media memilih dan memutuskan mana yang dianggap penting dan layak diberitakan. Dalam proses ini, media memiliki kekuasaan besar dalam membentuk persepsi publik terhadap suatu isu.
  5. Media sebagai Guide atau Interpreter (Pemandu atau Penafsir): Media tidak hanya menyampaikan fakta, tetapi juga memberikan penjelasan, konteks, dan interpretasi agar masyarakat memahami makna di balik suatu peristiwa. Dalam hal ini, media berperan membantu publik memahami isu-isu kompleks melalui analisis, opini, atau narasi yang mendalam.
PERBANDINGAN ANTARA PEMBERITAAN DAMAI DAN MENIMBULKAN KONFLIK

Tujuan Utama
  • Jurnalisme Damai: Bertujuan meredakan konflik dan mendukung perdamaian.
  • Jurnalisme Perang: Bertujuan memperbesar konflik dan fokus pada sensasi.

Sudut Pandang

  • Jurnalisme Damai: Menyajikan berbagai perspektif, memberi ruang pada semua pihak yang terlibat.
  • Jurnalisme Perang: Bias atau berat sebelah, mendominasi satu sudut pandang saja.

Isi Pemberitaan

  • Jurnalisme Damai: Mengangkat akar masalah, solusi, dan proses perdamaian.
  • Jurnalisme Perang: Fokus pada kekerasan, korban, dan kerusakan.

Judul/Headline

  • Jurnalisme Damai: Judul bersifat menenangkan dan mendorong dialog.
  • Jurnalisme Perang: Judul cenderung provokatif dan dramatis.

Fokus Berita

  • Jurnalisme Damai: Menyoroti penyelesaian masalah dan upaya rekonsiliasi.
  • Jurnalisme Perang: Menekankan pada dampak negatif konflik seperti kematian, kebakaran, dan kerusakan.

Etika

  • Jurnalisme Damai: Menolak propaganda dan kebohongan.
  • Jurnalisme Perang: Cenderung berpihak atau menyudutkan pihak tertentu.

Contoh Headline

  • Jurnalisme Damai: “Warga Tolak Perang Suku”, “Minta Penyelesaian Bijak”.
  • Jurnalisme Perang: “95 Rumah Dibakar”, “2 Orang Tewas di Konflik”.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pendahuluan: Media dan Agama

TEORI KOMUNIKASI AGAMA

Peran Media dalam Memperkuat atau Melemahkan Nilai Agama di Masyarakat